In control systems theory, there’s a notion called negative feedback. Negative feedback ini sering digunakan untuk mengatur (ambil kendali) suatu sistem output “y” agar tidak melenceng jauh dari hasil yang di inginkan “x”. Kalau melihat gambar diatas, negative feedback berkerja dengan cara: (1) mengobservasi jalan nya output sekarang, (2) dan mengembalikan nilai observasi tersebut untuk di bandingkan dengan hasil yang di inginkan “(x-z)”, (3) perbandingan ini lah yang menjadi input berikut nya. Sehingga kita bisa lihat bahwa, input yang berikan ke suatu sistem “G” tidak berlebihan, dan hasilnya akan lebih akurat. Jika tidak ada negative feedback, output sistem ini tidak bisa dikendalikan (tidak ada tolak ukur untuk perbandingan) sehingga hasilnya bisa melenceng jauh dari yang di inginkan. Inilah yang menjadikan “negative feedback” sering dipakai dalam control systems theory.
The same thing applies in our daily life here. Negative feedback bisa dikatakan seperti sebuah kritikan, atau masukan, dan saran. We understand that dengan kritik, kita bisa belajar untuk menjadi lebih baik dalam melakukan sesuatu.
Let’s take a specific example in the government. Dalam pemerintahan, alangkah baik nya kalau ada opsisi (ini negative feedback). Ini bukan berarti kita tidak boleh bersatu sebagai bangsa, melainkan kehadiran opsisi bisa membantu the current government untuk “stay on track” atau tidak melenceng dari the common goal yaitu kesejahteraan masyarakat. Kalau semuanya jadi koalisi, tidak akan ada “feedback” yang menjaga/mengontrol kebijakan-kebijakan yang dilakukan suatu pemerintahan. Karena itu at some level, kita membutuhkan opsisi dalam pemerintahan.
Negative feedback sudah terbukti penting untuk menjaga keberhasilan suatu sistem, entah itu di engineering, government atau pun kehidupan sehari-hari.